Belajar dari Kisah Tragis Nisza Ismail dan Wang Yue

Dua migguan yang lalu kita dan dunia dihebohkan oleh peristiwa terlindasnya anak balita Wang Yue (2) oleh dua buah mobil di kota Fosan, Provinsi Guangdong China. Reaksi keras muncul karena dalam sebuah video yang beredar di dunia maya, Pas kejadian tak ada orang yang menolong bocah malang tsb. Padahal orang nampak lalu lalang . Beruntung  muncul seorang pemulung yang kemudian memindahkan Wang Yue dari jalanan.
Dari negeri yang kita disuruh menuntut ilmu sampai jauh ke sana, kita mendapat pelajaran berharga. Rasa kemanusiaan dan kepedulian kita terhadap sesama sudah kian luntur saja.
Besar harapan kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa mengenaskan tersebut.


Namun apa daya…
Beberapa hari yang lalu, tak jauh dari halaman rumah kita di Cimahi,. Nisza Ismail, bayi  berumur 8 bulan nyawanya tak terselamatkan karena pihak rumah sakit konon katanya lamban dalam melakukan tindakan medis dikarenakan orang tua Nisza belum bisa memenuhi kekurangan uang administrasi.sebesar Rp. 70.000,- Astagfirullah….
Ini terasa lebih menohok karena kisah Nisza terjadi di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Kisahnya lebih nyata , dan semestinya pengaruhnya pun  lebih dahsyat dari video Wang Yue yang diunggah di internet bebrapa waktu lalu. Di negeri yang sejak kita bisa membaca dan menulis kita diajari bahwa sebagai warga negara kita berhak mendapat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketika sebuah nyawa keselamatannya diabaikan begitu saja karena masalah nominal uang tentuanya sudah selayaknya kita bertanya apakah kita masih "dianggap" sebagai manusia?. Ketika jaminan konstitusi menyatakan dengan gagahnya bahwa bumi, air dan kekayaan alam yg terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan  dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenapa hal tersebut tidak berlaku bagi Nisza???.

Ah, andai saja  uang triliunan rupiah yang dirampok para koruptor bisa terselamatkan, mungkin kisah Nisza takkan terjadi.
                                                                        *
Kisah Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum dari lumbung negara sebagai bentuk rasa tanggungjawab seorang pemimpin kepada rakyatnya karena didadapatinya seorang ibu sedang merebus batu hanya untuk ngabebenjokeun -mengalihkan tangis bayinya dari rasa lapar- semakin terasa seperti dongeng saja.


Sayang seribu sayang,
Nisza Ismail hidup di jaman serba modern yang teknologinya serba canggih. Teleconference , BBM-an, dan tetek bengek kecanggihan alat penunjang lainnya yang dengannya jarak bukan lagi jadi persoalan. Mungkin karena keseringan hidup di alam maya. Para pemimpin kian  terlena. Jadi  lupa untuk turun langsung menyapa rakyatnya.

Nisza tidak lahir di jaman yang dianggap hanya dongeng pengundang kantuk,
Nisza tidak lahir di jaman yang ketika itu, seorang pemimpin mempunyai kesadaran bahwa jabatan yang diembankan padanya adalah amanah dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Yang paling jelas,
Nisza tak dipimpin oleh pemimpin yang tak memiliki istana dan baju yang dikenakannya memiliki 12 tambalan.

Nisza Ismail dipimpin oleh pemimpin  yang perlente dan necis namun tak pernah merasa terpanggil oleh peringatan:
Hasibuu qobla antuhaasabuu.” Hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah SWT.“Hasibuu qobla antuhaasabuu.” Hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah SWT.


Cimahi, 27 Oktober 2011








Comments

Popular posts from this blog

Met Ultah Jakarta

Semua Tentang Empat